Pernahkah anda bertanya, mengapa susunan huruf dalam keyboard mesin ketik, komputer, hingga PDA kita berupa “QWERTYUIOP” dan seterusnya? Mengapa tidak dibuat saja berurutan seperti “ABCDEFGH” dan seterusnya? Mungkin sebagian dari anda sudah tahu ceritanya, tetapi kalau-kalau anda belum tahu apa salahnya saya ulas disini.
Konon, keyboard
tersebut sudah diciptakan sejak tahun 1860an oleh Sholes dan Dunsmore. Awalnya
mereka membuatnya berurutan sesuai abjad. Namun, lambat laun seiring dengan
meningkatnya kemampuan (kebiasaan) user, kecepatan mengetik menjadi lebih cepat
padahal mekanisme mesin saat itu masih sederhana. Akibatnya, (baris) tombol
tertentu menjadi sering macet dan menghambat pekerjaan.
Sholes dan Dunsmore
Berdasar pengalaman
mereka, akhirnya disusunlah keyboard yang sengaja dipersulit dan dibuat tidak
efisien agar keyboard tidak mudah jammed. Desain mesin ketik itu kemudian
dijual ke Remington untuk diproduksi secara massal tahun 1873. Susunannya
terbagi dalam empat baris, baris teratas berupa “23456789-”, baris kedua
“QWERTYIUOP”, baris ketiga “XDFGHJKLM”, dan baris terbawah “AX&CVBN?;R”.
Seiring berjalannya
waktu, teknologi berkembang pesat dan masalah tombol keyboard yang sering macet
sudah teratasi dengan desain mekanik yang lebih baik. Sejumlah desain keyboard
alternatif juga muncul di pasaran. Salah satu yang cukup populer adalah Dvorak
Simplified Keyboard (DSK) yang dibuat oleh August Dvorak tahun 1936. Desain itu
diklaim merupakan desain yang lebih efisien, cepat, dan egronomis.
Dvorak
Simplified Keyboard (DSK)
QWERTY sebenarnya
punya banyak kelemahan seperti membuat tangan kiri Anda overload terutama
ketika menulis dalam bahasa Inggris (hal serupa saya rasakan ketika menulis
dalam bahasa Indonesia). QWERTY juga membuat kelingking Anda overload. Penelitian
menunjukkan bahwa distribusi huruf tidak merata sehingga jari Anda harus
menyeberang dari baris ke baris—-bila dihitung jari tukang ketik tipikal akan
berjalan lebih dari 20 mil per hari dibandingkan dengan DSK yang hanya 1 mil.
Sayangnya, orang tetap
ogah berpaling dari desain “QWERTY” kendati desain tersebut bukan merupakan
desain yang terbaik. Sekalipun teknologi sudah bisa mengatasi problem tombol
yang nge-jam, orang tetap bertahan dengan desain “QWERTY” bukannya desain lain
yang lebih superior. Alih-alih, QWERTY malah dinobatkan menjadi standar
internasional di tahun 1966.
Hal yang sama juga
terjadi di Microsoft Windows. Kita tentu tahu bahwa Windows bukanlah sistem
operasi terbaik, entah itu dari segi keamanan, kemudahan, kinerja, sampai soal
keindahan. Namun, karena penetrasi pasar Windows sudah begitu deras, orang
mulai terbiasa menggunakan Windows dan sistem operasi tersebut menjadi
terstandardisasi.
Apakah tidak ada
yang lebih baik dari Windows? Tentu saja tidak. Namun orang perlu pikir-pikir
beberapa kali sebelum berpaling dari standar tersebut. Mereka harus menghadapi
barrier seperti faktor biaya, isu kompatibilitas, proses pembelajaran, faktor
waktu, dan masih banyak lagi. Akibatnya jumlah mereka yang setia jauh lebih
besar daripada yang murtad. Inilah yang menjadikan Windows atau QWERTY kemudian
menjadi standar—-kendati mereka bukan yang terbaik.
Dalam dunia ilmiah,
fenomena ini dijelaskan sebagai konsep path dependency dan network externality.
Intinya, inovasi tidak menghasilkan outcome yang out of the blue, tetapi
merupakan perkembangan yang bisa diprediksi dari yang sudah-sudah. Selain itu,
value dari inovasi tersebut akan makin tinggi bila digunakan oleh makin banyak
orang. Pada tahap tertentu, inovasi tersebut akan menjadi standar yang
digunakan oleh umum.
Dari Berbagai Sumber @Kaskus
0 komentar:
Posting Komentar